UMMUMM

Legality : Jurnal Ilmiah HukumLegality : Jurnal Ilmiah Hukum

Makalah ini membahas mekanisme perizinan pendirian rumah ibadah. Dalam praktik, mekanisme perizinan di kedua negara menunjukkan perbedaan signifikan. Di Indonesia diadopsi pendekatan birokratis yang bersifat formal, administratif, serta berbasis sosial dan komunitas. Indonesia mengatur secara khusus persyaratan pendirian rumah ibadah dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006, yang mewajibkan pemenuhan persyaratan administratif, teknis, dan khusus untuk memperoleh izin. Namun, peraturan tersebut mengandung celah yang memungkinkan penolakan pendirian rumah ibadah sehingga berpotensi menghambat kebebasan beribadah. Sebaliknya, Jerman menerapkan pendekatan ekologi, spasial, dan arsitektural dalam perizinan rumah ibadah dengan menganut Baugesetzbuch dan memperhatikan Flächennutzungsplan serta Bebauungsplan sebagai pedoman. Penelitian normatif-yuridis ini menggunakan pendekatan komparatif, konseptual, dan yuridis. Temuan utama menunjukkan bahwa kedua negara memiliki pendekatan berbeda dalam mempertimbangkan izin pendirian rumah ibadah, khususnya pada aspek regulasi, karakteristik, dan mekanisme penyelesaian sengketa.

Indonesia dan Jerman sama-sama menjamin kebebasan beragama dan beribadah dalam konstitusi, namun menerapkan pendekatan regulasi yang berbeda.Indonesia mewajibkan persyaratan administratif, teknis, dan khusus melalui PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 yang seringkali menghambat pendirian rumah ibadah minoritas, sedangkan Jerman mengedepankan aspek ekologi, spasial, arsitektural, serta konsultasi publik melalui Baugesetzbuch, Flächennutzungsplan, dan Bebayungsplan.Untuk meningkatkan kepastian hukum dan kerukunan, Indonesia dapat mempertimbangkan adaptasi pendekatan Jerman, mengembangkan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih komprehensif, serta memperkuat kerja sama bilateral dalam pertukaran praktik regulasi.

Penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi bagaimana integrasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dapat memperkuat prosedur perizinan rumah ibadah dan mencegah konflik, misalnya dengan menganalisis dampak kesesuaian lokasi dan ketentuan zonasi terhadap tingkat penolakan masyarakat. Selanjutnya, sebuah studi komparatif dapat merancang model mediasi baru yang memadukan mekanisme deliberasi komunitas di Indonesia dan konsultasi publik di Jerman, untuk menilai efektivitas kedua pendekatan dalam mempercepat penyelesaian sengketa dan meningkatkan toleransi antarkelompok. Selain itu, penelitian empiris dapat menelaah implikasi peralihan dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ke Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) pasca-omnibus law, dengan fokus pada beban administratif yang dihadapi rumah ibadah minoritas dan dampaknya terhadap keberlanjutan operasional serta penerimaan sosial. Lebih jauh, studi transformatif diperlukan untuk mengevaluasi peran digitalisasi perizinan melalui Sistem Informasi Pelayanan Publik Nasional (SIPPN) dalam mempercepat proses PBG dan mengidentifikasi hambatan akses yang dialami komunitas minoritas di wilayah terluar. Dengan menggabungkan keempat arah penelitian ini, diharapkan tercipta rekomendasi kebijakan yang lebih inklusif, efektif, dan mampu menjaga kerukunan beragama di berbagai tingkatan pemerintahan.

  1. The adversity on establishing places of worship: has religious freedom failed in Indonesia? | Legality... doi.org/10.22219/ljih.v29i1.15317The adversity on establishing places of worship has religious freedom failed in Indonesia Legality doi 10 22219 ljih v29i1 15317
File size323.99 KB
Pages16
DMCAReportReport

ads-block-test