SCADINDEPENDENTSCADINDEPENDENT

Jurnal Ilmiah PeuradeunJurnal Ilmiah Peuradeun

Undang‑Undang Pemerintahan Aceh menetapkan Wali Nanggroe sebagai lembaga yang ditujukan untuk kepentingan rakyat dan masa depan tata pemerintahan di Aceh. Sebagai Wali yang diatur pada poin 1.1.7 MoU Helsinki dan UU No. 11/2006, institusi ini harus ditelusuri akar‑nya dalam konteks Imamah, sosial‑politik, hukum, dan moral. Individu yang memegang gelar Wali memperoleh posisi penting dalam sistem sosial Islam, baik karena kualitas spiritualnya maupun peran sosial yang dijalankannya. Penelitian ini berusaha mengkaji sejauh mana kedudukan Wali Nanggroe berhubungan dengan penerapan hukum Islam di Aceh. Lembaga Wali Nanggroe merupakan organisasi independen yang tidak berada dalam rangkaian eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Ditegaskan bahwa Wali Nanggroe tidak memiliki wewenang politik; Pasal 96 dan 97 UU No. 11/2006 menyatakan tugasnya sebagai perekat masyarakat Aceh melalui pendekatan adat, bukan sebagai institusi politik.

Institusi Wali Nanggroe (WN) merupakan lembaga independen yang tidak termasuk dalam cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, serta berperan sebagai simbol pelestarian adat, budaya, dan pemersatu masyarakat Aceh.Lembaga ini pertama kali diperkenalkan oleh Hasan Tiro, tokoh paling berpengaruh di Aceh pada akhir abad 20 hingga awal abad 21, sebagai bagian dari upaya perdamaian yang diamanatkan dalam MoU Helsinki.Dengan menegaskan fungsi WN sebagai perekat sosial dan bukan institusi politik, keberadaannya diharapkan dapat memperkuat kohesi masyarakat Aceh dalam konteks pasca‑konflik.

Penelitian selanjutnya dapat menyelidiki bagaimana implementasi fungsi Wali Nanggroe secara konkret pada tingkat kecamatan dan desa, dengan mengumpulkan data persepsi masyarakat serta analisis peran praktis lembaga dalam penyelesaian permasalahan lokal. Selain itu, studi perbandingan antara institusi Wali Nanggroe di Aceh dan model Wilayat al‑Faqih di Iran dapat memberikan wawasan mengenai perbedaan legitimasi, wewenang, dan dinamika hubungan antara institusi keagamaan dan struktur negara. Selanjutnya, evaluasi dampak keberadaan Wali Nanggroe terhadap proses rekonsiliasi pasca‑konflik di Aceh dapat dilakukan melalui pendekatan kualitatif yang menelusuri kontribusi lembaga dalam memperkuat kohesi sosial, mengurangi ketegangan antar‑kelompok, dan memfasilitasi pelaksanaan adat serta nilai‑nilai Islam. Penelitian ini dapat menggunakan metode wawancara mendalam, observasi partisipatif, serta analisis dokumen kebijakan untuk menghasilkan gambaran komprehensif. Hasilnya diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan bagi pemerintah daerah dalam memperkuat peran institusi adat sebagai agen perdamaian. Dengan demikian, kajian lanjutan ini tidak hanya memperkaya literatur tentang tata kelola berbasis nilai agama, tetapi juga mendukung upaya pembangunan berkelanjutan di Aceh.

File size401.1 KB
Pages13
DMCAReportReport

ads-block-test