UMMUMM

Legality : Jurnal Ilmiah HukumLegality : Jurnal Ilmiah Hukum

Konflik Laut Cina Selatan (LCS) yang berlarut berawal dari diterbitkanya peta baru oleh Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1947 yang sebagian besar mengklaim wilayah LCS, hingga terdapat garis imajiner yang disebut nine dash line yang didasarkan dari aspek historis. Berdasarkan pada UNCLOS, klaim atas suatu wilayah yang didasarkan dari apek Historis tidak dibenarkan. keberadaan nine dash line tersebut menimbulkan ketegangan antar negara di sekitar LCS, termasuk Indonesia. Terdapat beberapa mekanisme penyelesaian sengketa damai dalam UNCLOS diantarannya konsiliasi, penyelesaian mengikat, arbitrase, arbitrase khusus. Penyelesaian sengketa LCS harus menggunakan metode penyelesaian secara damai. Yakni dengan diplomasi yang win-win solution atau tidak saling merugikan. Diplomasi soft power asimetris yang memperhatikan kepentingan-kepentingan baik negara maupun organisasi nantinya mampu menjadi alternatif penyelesaian sengketa LCS yang berlarut-larut, dengan catatan win-win solution dapat dirasakan secara langsung bagi mereka yang bersengketa. Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan Metode Penelitian Hukum dengan pendekatan Statute Approach dan Conceptual Approach yang ditunjang dengan Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder.

Urgensi Indonesia turut campur dalam Laut Cina Selatan selain karena terdapat beberapa hak yang harus diperhatikan di ZEE, serta dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 alinea ke IV mengatakan bahwa untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.Perlu adanya suatu upaya dalam sengketa Laut Cina Selatan, dengan cara damai tanpa ada kekerasan yaitu diplomasi soft power asimetris, hasil dari perundingan tersebut diterbitkan dokumen hukum yang bersifat mengikat pihak-pihak.Lalu-lintas perniagaan, pelayaran serta aktivitas di Laut Cina Selatan menggunakan COC, yang didalamnya mengatur tingkah laku dalam wilayah Laut Cina Selatan.

Penelitian lanjutan dapat dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas dialog bilateral antara Indonesia dan Tiongkok dalam menyelesaikan klaim atas zona ekonomi eksklusif di Laut Cina Selatan, apakah pendekatan ini berhasil mencapai solusi win-win tanpa mengorbankan kepentingan sumber daya kelautan lintas batas seperti minyak dan ikan. Selain itu, dapat dikembangkan studi tentang penerapan code of conduct sebagai dokumen hukum yang mengikat lebih kuat dari Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea, dengan fokus pada pengaturan lalu-lintas perdagangan internasional dan pencegahan ketegangan militer di wilayah tersebut. Penelitian lain dapat menyelidiki bagaimana diplomasi soft power asimetris memperhatikan kepentingan negara-negara ASEAN lainnya seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei, untuk mencari alternatif penyelesaian yang melibatkan kerjasama multilateral guna mengelola sumber daya laut secara bersama tanpa saling merugikan, termasuk melalui klarifikasi nine-dash line oleh tribunal internasional. Dengan mempertimbangkan latar belakang urgensi Indonesia dalam konflik ini, penelitian dapat juga mengeksplorasi metode statute approach dan conceptual approach yang digunakan dalam study terkait UNCLOS untuk menganalisis potensi dampak pembangunan pulau buatan oleh Tiongkok terhadap ekosistem kelautan, sehingga memberikan rekomendasi inovatif bagi rezim hukum laut global. Penelitian tersebut perlu memanfaatkan bahan hukum primer dan sekunder dari sebelumnya untuk memperbaiki keterbatasan DOC yang tidak bersifat mengikat, seperti diusulkan dalam paper ini melalui diplomasi yang mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan keamanan regional. Dengan pendekatan ini, kita dapat melihat bagaimana Indonesia sebagai poros maritim dapat memimpin inisiatif studi lanjutan yang berkontribusi pada perdamaian dunia, sambil mengembangkan model diplomasi yang lebih inklusif untuk mencegah eskalasi konflik di laut tersebut. Akhirnya, penelitian komparatif dengan konflik laut lainnya di dunia dapat memberikan wawasan baru tentang aplikasi soft power asimetris dalam penyelesaian sengketa maritim, terutama terkait pemanfaatan sumber daya kelautan lintas batas sebagai instrumen negosiasi damai, sehingga mencapai kesepakatan yang adil bagi semua pihak yang terlibat.

File size357.75 KB
Pages15
DMCAReportReport

ads-block-test