ULUMUNAULUMUNA

UlumunaUlumuna

Pendekatan fenomenologis dalam studi agama telah memainkan peran penting dalam mengungkap misteri pengalaman religius. Dengan konsep epoché, yang merujuk pada makna menunda semua penilaian, atau dapat diartikan sebagai menangguhkan suatu pemahaman yang diinterpretasikan sebagai pembatasan (bracketing), peneliti harus sementara melepaskan semua penilaian atau pemahamannya terhadap fenomena yang diteliti untuk memperoleh pengetahuan universal yang transendental terhadap fenomena agama dan mengalami esensi yang didapat. Namun, kritik dari para ahli terhadap pendekatan fenomenologis dalam agama ini masih ada, yang diringkas dalam tiga poin: pertama, tentang kesinambungan fenomenologi agama sebagai tradisi filosofis-teologis. Kedua, asumsi atau motif tersembunyi di balik pendekatan fenomenologis agama. Ketiga, bagaimana keterlibatan ilmuwan agama dalam peran publik sebagai ilmuwan sosial menghadapi realitas sosial dan politik saat ini, atau tantangan bagi ilmuwan agama apakah mereka menerima peran publik atau tidak dalam menghadapi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat.

Perbedaan pemikiran dalam memahami fenomenologi dalam kerangka studi agama merupakan hal yang lumrah, mengingat tidak ada pendekatan tunggal yang sempurna untuk studi agama yang kompleks dan beragam, di mana setiap pendekatan memiliki kelemahan masing-masing.Oleh karena itu, untuk menghasilkan pengetahuan yang lebih komprehensif, dibutuhkan kombinasi berbagai pendekatan dengan pola melingkar, bukan sekadar paralel atau linier, yang dapat menjembatani perbedaan antara pendekatan dogmatis-normatif dan reduksionisme ilmu sosial.Dalam era pluralisme dan multikulturalisme, fenomenologi agama, meskipun mendapatkan kritik, tetap esensial untuk memahami esensi agama dan berkontribusi pada penciptaan penganut yang terbuka, toleran, dan saling menghargai perbedaan.

Penyelidikan lebih lanjut dapat berfokus pada bagaimana studi fenomenologi agama, yang bertujuan memahami esensi pengalaman religius, dapat lebih efektif mengintegrasikan konteks historis, sosial, dan budaya dalam analisisnya. Mengingat kritik bahwa fenomenologi terkadang mengabaikan akar sejarah suatu fenomena agama, penelitian mendatang dapat mengeksplorasi metodologi hibrida yang memadukan kedalaman pengalaman subyektif dengan kerangka sejarah yang kuat, sehingga memberikan pemahaman yang lebih kaya dan tidak terisolasi. Selain itu, penting untuk mengembangkan kerangka kerja metodologis yang lebih konkret untuk mengatasi bias peneliti dan dinamika kekuasaan yang mungkin tersembunyi. Bagaimana para peneliti dapat secara lebih transparan mengimplementasikan konsep epoché (penangguhan penilaian) atau empati radikal yang diusulkan Cox, agar interpretasi mereka benar-benar merepresentasikan pengalaman penganut tanpa campur tangan prasangka pribadi atau asumsi teologis? Ini bisa melibatkan pengembangan pedoman etis yang ketat atau alat reflektif bagi peneliti. Terakhir, dengan mempertimbangkan kontribusi fenomenologi terhadap toleransi antariman, studi di masa depan dapat merancang dan menguji program intervensi atau model dialog yang secara eksplisit menggunakan pendekatan fenomenologis untuk memfasilitasi pemahaman lintas agama. Misalnya, bagaimana penerapan metode verstehen (pemahaman mendalam) atau unveiling (membuka yang tersembunyi) dapat membantu komunitas agama yang berbeda menemukan titik temu atau mengatasi kesalahpahaman spesifik, bukan hanya secara teoritis tetapi dalam skenario dunia nyata. Penelitian ini akan menjembatani jurang antara teori dan praktik, menawarkan solusi nyata untuk tantangan pluralisme dan multikulturalisme saat ini.

  1. Debates on Religious Studies In the Phenomenology Perspective and Its Contribution to Interfaith Tolerance... ulumuna.or.id/index.php/ujis/article/view/347Debates on Religious Studies In the Phenomenology Perspective and Its Contribution to Interfaith Tolerance ulumuna index php ujis article view 347
File size617.1 KB
Pages30
DMCAReportReport

ads-block-test