MKRIMKRI

Jurnal KonstitusiJurnal Konstitusi

Hak memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional warga negara yang diakui sebagai bagian dari hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin UUD 1945. Sebagai hak konstitusional, jaminan pelaksanaan hak tersebut diatur dalam Undang-Undang terkait pemilu anggota legislatif, pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun pemilihan kepala daerah. Pengaturan hak itu berada di antara dua paradigma yang saling tolak menarik. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, kajian ini mendalami pergeseran paradigma pengaturan hak dimaksud. Pembentuk undang-undang berangkat dari paradigma bahwa hak tersebut harus dibatasi, termasuk dengan menggunakan alasan-alasan objektif demi menghasilkan pejabat publik yang berintegritas dan pemilu yang adil. Dalam perjalanannya, melalui proses pengujian undang-undang, paradigma dimaksud justru digeser ke arah menghilangkan pembatasan yang demikian, karena dinilai melanggar hak konstitusional warga negara. Pergeseran yang terjadi berimplikasi pada hadirnya produk legislasi pemilu yang cenderung lebih liberal, di mana pembatasan hak pilih hanya boleh dilakukan berdasarkan alasan ketidakcakapan. Sementara aspek lain yang dinilai sebagai batasan untuk menghasilkan pejabat politik yang profesional dan tidak cacat moral tidak boleh lagi diadopsi sebagai alasan pembatasan. Dengan begitu, siapapun yang akan terpilih, memiliki cacat moral/hukum atau tidak, semua tergantung kepada pemilih yang memegang hak suara. Undang-Undang sebagai produk hukum tidak lagi dapat digunakan sebagai instrumen untuk menyaring calon-calon pejabat politik yang dipilih melalui pemilu.

Hak memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional warga negara yang dalam berbagai undang-undang pemilu dan pilkada diatur dengan sejumlah pembatasan dan pembedaan.Awalnya, pengaturan hak pilih didasarkan pada paradigma pembatasan untuk menghasilkan pemilu yang adil dan pejabat yang berintegritas.Namun, melalui proses pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi, paradigma tersebut bergeser ke arah pelonggaran, di mana pembatasan hanya dibenarkan jika terkait ketidakcakapan seseorang.Akibatnya, pengaturan hak pilih menjadi sangat liberal, sehingga hukum tidak lagi berfungsi sebagai penyaring calon pejabat publik yang profesional dan bebas dari cacat moral.

Pertama, perlu diteliti bagaimana efektivitas pelonggaran syarat pencalonan terhadap kualitas kepala daerah yang terpilih, terutama dalam konteks integritas moral dan profesionalisme, agar dapat dievaluasi apakah pembatasan hanya berdasarkan ketidakcakapan cukup memadai. Kedua, penting untuk mengkaji dampak penghilangan syarat larangan bagi mantan terpidana terhadap kepercayaan publik dalam proses demokrasi, termasuk bagaimana pemilih membuat keputusan saat memilih calon dengan rekam jejak hukum. Ketiga, perlu dikembangkan penelitian tentang perlunya standar etika dan moral minimal bagi calon pejabat publik tanpa melanggar hak konstitusional, dengan mengeksplorasi model penilaian integritas yang independen dan transparan untuk menjaga keseimbangan antara hak pilih dan kualitas kepemimpinan politik.

File size405.33 KB
Pages21
DMCAReportReport

ads-block-test