JURNALFKIPUNTADJURNALFKIPUNTAD

Jurnal Akademika KimiaJurnal Akademika Kimia

Labu kuning (Cucurbita moschata) merupakan tanaman yang mudah beradaptasi pada berbagai kondisi tanah; namun pemanfaatan bijinya masih terbatas. Meskipun kandungan proteinnya relatif tinggi dan penting untuk pertumbuhan serta energi, biji tersebut berpotensi menjadi bahan baku alternatif untuk produksi tempe. Penelitian ini bertujuan menghasilkan tempe biji labu kuning sesuai dengan SNI 3144:2015, mengkaji variasi organoleptik serta kandungan protein tempe biji labu kuning dari tiga wilayah di Sulawesi Tengah, serta menghasilkan Lembar Kerja Siswa sebagai sumber belajar kimia yang divalidasi oleh dosen ahli. Metode kuantitatif dengan teknik analisis Kjeldahl digunakan untuk menentukan konsentrasi protein melalui tahapan destruksi, destilasi, dan titrasi. Selain itu, evaluasi sensorik dilakukan oleh 20 panelis untuk menilai tekstur, warna, rasa, dan aroma tempe biji labu kuning. Tempe yang dihasilkan menunjukkan sifat organoleptik yang baik dengan skor preferensi rata‑rata 4, berwarna putih seragam, aroma tempe khas, dan tekstur padat. Analisis kandungan protein mengungkap tempe dari Kota Palu memiliki konsentrasi tertinggi (24,5 %), diikuti Palolo (23,91 %) dan Lore Utara (20,41 %), menunjukkan pengaruh faktor lingkungan terhadap komposisi nutrisi. Sesuai SNI 3144:2015, karakteristik visual dan kandungan protein tempe biji labu kuning memenuhi kriteria kualitas yang ditetapkan. Temuan penelitian dipresentasikan dalam Lembar Kerja Siswa dengan tingkat validitas 85 %, menandakan kecocokannya sebagai sumber belajar. Penelitian ini memperluas pemanfaatan biji labu kuning sebagai sumber pangan bergizi dan mendukung pengembangan media edukasi yang inovatif.

Penelitian ini menunjukkan bahwa tempe biji labu kuning memenuhi standar nasional mengenai penampilan di ketiga wilayah Sulawesi Tengah, dengan penilaian preferensi panelis sebesar 4 pada kategori suka.Kandungan protein tertinggi dicatat pada sampel dari Kota Palu (24,5 %), diikuti oleh Kabupaten Palolo (23,91 %) dan terendah pada Kabupaten Lore Utara (20,41 %).Hasil penelitian yang divalidasi oleh ahli bahan dan desain terbukti layak sebagai sumber belajar kimia dengan tingkat persetujuan 85 %, sekaligus menegaskan potensi biji labu kuning sebagai sumber protein lokal.

Penelitian selanjutnya dapat mengeksplorasi bagaimana variasi jenis starter fermentasi, seperti strain Rhizopus oligosporus yang berbeda, memengaruhi retensi protein dan kualitas organoleptik tempe biji labu kuning pada ketinggian berbeda di Sulawesi Tengah. Selain itu, studi dapat menguji fortifikasi tempe biji labu kuning dengan bahan tambahan kaya mikronutrien, misalnya serbuk daun singkong atau moringa, untuk meningkatkan kandungan vitamin dan mineral tanpa mengurangi penerimaan sensorik konsumen. Selanjutnya, diperlukan penelitian longitudinal yang menilai dampak penggunaan Lembar Kerja Siswa berbasis tempe biji labu kuning pada kurikulum kimia sekolah menengah, terutama dalam meningkatkan pemahaman konseptual siswa serta sikap mereka terhadap pemanfaatan sumber daya lokal. Penelitian ini juga dapat membandingkan efektivitas Lembar Kerja tersebut dengan materi pembelajaran konvensional melalui uji coba kelas terkontrol. Selanjutnya, analisis biaya‑manfaat produksi tempe biji labu kuning pada skala mikro‑usaha dapat memberikan insight tentang kelayakan ekonomi bagi petani lokal. Penelitian lain dapat memetakan persepsi konsumen di pasar regional mengenai tempe biji labu kuning, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian. Akhirnya, studi interdisipliner yang menggabungkan ilmu pangan, edukasi, dan ekonomi dapat menghasilkan model pemberdayaan komunitas berkelanjutan berbasis tempe biji labu kuning.

File size474.82 KB
Pages7
DMCAReportReport

ads-block-test