BALIMEDICALJOURNALBALIMEDICALJOURNAL

0

Latar Belakang: Hipertrofi Prostat Jinak (BPH) telah dikaitkan dengan prostatitis kronis menurut studi terbaru. Nyeri panggul kronis merupakan keluhan utama pada BPH yang diikuti oleh prostatitis. Kultur urine merupakan standar emas untuk diagnosis etiologis, namun tingkat hasil negatif masih tinggi. Multiplex polymerase chain reaction (PCR) sebagai alat diagnostik dapat mengidentifikasi mikroorganisme pada level DNA. Tujuan penelitian ini adalah menilai peran multiplex PCR sebagai alat diagnostik pada pasien prostatitis. Metode: Dua belas sampel diambil selama prosedur TURP di Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar, Bali, antara Februari hingga Mei 2015. Semua sampel telah didiagnosis klinis prostatitis dan menjalani kultur urine. Spesimen prostat dikirim untuk pemeriksaan histopatologi serta dilakukan multiplex PCR untuk diagnosis etiologis. Hasil: Kedua belas sampel dinyatakan prostatitis berdasarkan pemeriksaan histopatologi, kemudian dianalisis dengan multiplex PCR. Sepuluh sampel menghasilkan hasil positif (enam E. coli, dua C. trachomatis, satu N. gonorrhea, dan satu P. aeruginosa). Kultur urine menunjukkan sembilan hasil positif, dengan enam E. coli, serta P. aeruginosa, M. morganii, dan A. haemolyticus. Kesimpulan: Pada pasien prostatitis, diagnosis etiologis sangat penting. Multiplex PCR dapat mendeteksi mikroorganisme meskipun kultur urine negatif. Kombinasi kultur urine dan multiplex PCR memberikan hasil diagnosis etiologis yang lebih baik, sehingga meningkatkan manajemen penyakit.

Pada pasien yang mengalami prostatitis terkait hipertrofi prostat jinak, diagnosis etiologis sangat penting.Multiplex PCR sebagai alat diagnostik dapat mendeteksi mikroorganisme pada kultur urine yang negatif.Kombinasi antara kultur urine dan multiplex PCR menghasilkan diagnosis etiologis yang lebih baik, yang pada akhirnya memperbaiki penanganan penyakit.

Penelitian selanjutnya dapat menyelidiki efektivitas multiplex PCR dibandingkan dengan metode diagnostik modern lainnya, seperti sekuen 16S rDNA atau PCR real‑time, dalam mendeteksi mikroorganisme penyebab prostatitis pada populasi yang lebih besar, sehingga menilai sensitivitas, spesifisitas, dan biaya masing‑masing. Selain itu, studi longitudinal dapat dilakukan untuk mengevaluasi apakah diagnosis cepat dengan multiplex PCR berkontribusi pada penurunan gejala lower urinary tract symptoms dan peningkatan kualitas hidup pasien BPH‑prostatitis selama periode tindak lanjut minimal satu tahun. Terakhir, penelitian intervensional dapat menguji strategi terapeutik yang dipandu oleh hasil multiplex PCR, misalnya pemberian antibiotik spektrum sempit yang disesuaikan dengan patogen yang terdeteksi, untuk menilai dampaknya terhadap tingkat kambuhnya infeksi dan kebutuhan akan prosedur reseksi ulang. Dengan menggabungkan sampel dari beberapa rumah sakit, penelitian ini juga dapat mengidentifikasi pola distribusi geografis bakteri seks menular yang relevan pada prostatitis.

File size213.46 KB
Pages4
DMCAReportReport

ads-block-test