UIDUID

Reformasi HukumReformasi Hukum

Perubahan pemerintah yang inkonstitusional (UCG) merupakan tantangan serius bagi stabilitas kawasan dan prinsip hukum internasional, khususnya prinsip non-interference. Uni Afrika (UA) dan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) menghadapi dinamika yang berbeda dalam merespons fenomena tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh terhadap penerapan prinsip non-interference serta menganalisis respons ASEAN dan UA terhadap UCG di negara anggotanya. Penelitian menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan, kasus, dan komparatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa UA telah mengadaptasi prinsip non-interference melalui Constitutive Act of The African Union dengan memasukkan klausul pengecualian, antara lain dalam situasi grave circumstances (kejahatan perang, genosida, dan kejahatan terhadap kemanusiaan) atau atas permintaan negara bersangkutan. Sementara itu, ASEAN masih mempertimbangkan penerapan prinsip non-interference secara ketat tanpa mekanisme hukum khusus untuk menanggapi UCG, seperti yang terjadi di Myanmar. Dapat disimpulkan bahwa dinamika penerapan prinsip non-interference menunjukkan pergeseran norma dan transformasi pendekatan hukum di tingkat regional, di mana UA telah bergerak menuju adaptasi norma baru, sedangkan ASEAN masih mengedepankan jalur diplomasi dan konsensus politik. Sebagai rekomendasi, ASEAN perlu memperkuat legitimasi hukum terhadap Konsensus Lima Poin sebagai model penanganan UCG di kawasan, agar dapat berfungsi sebagai instrumen konstitusional yang mendukung stabilitas dan tata kelola hukum regional secara berkelanjutan.

Dinamika penerapan prinsip non-interference menunjukkan pergeseran norma dan transformasi pendekatan hukum di tingkat regional, di mana Uni Afrika telah bergerak menuju adaptasi norma baru, sedangkan ASEAN masih mengedepankan jalur diplomasi dan konsensus politik.Oleh karena itu, ASEAN perlu memperkuat legitimasi hukum terhadap Konsensus Lima Poin sebagai model penanganan UCG di kawasan, agar dapat berfungsi sebagai instrumen konstitusional yang mendukung stabilitas dan tata kelola hukum regional secara berkelanjutan.Kerja sama dengan PBB dalam penanganan UCG juga perlu diperkuat, terutama dalam hal memastikan tindakan yang diambil sejalan dengan prinsip hukum internasional dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi stabilitas kawasan.

Berdasarkan temuan penelitian, terdapat beberapa arah studi lanjutan yang menjanjikan. Pertama, perlu dilakukan analisis mendalam mengenai efektivitas model Konsensus Lima Poin ASEAN dalam konteks perubahan rezim politik di Myanmar. Penelitian ini dapat mengeksplorasi faktor-faktor yang menghambat atau mempercepat implementasi konsensus tersebut, serta memberikan rekomendasi konkret untuk meningkatkan efektivitasnya. Kedua, penting untuk menganalisis peran masyarakat sipil dan aktor non-negara dalam proses penanganan UCG di kawasan. Penelitian ini dapat mengidentifikasi strategi yang efektif untuk melibatkan masyarakat sipil dalam upaya mendorong pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Ketiga, perlu dilakukan studi komparatif mengenai pendekatan UA dan ASEAN dalam merespons UCG, dengan fokus pada analisis perbedaan mekanisme hukum dan politik yang digunakan oleh kedua organisasi regional tersebut. Studi ini dapat memberikan wawasan berharga tentang praktik terbaik dalam penanganan UCG dan memberikan inspirasi bagi upaya peningkatan kapasitas ASEAN.

  1. SIKAP ASEAN TERHADAP PELANGGARAN HAM DI MYANMAR PASCA KUDETA | Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial. sikap asean... doi.org/10.38043/jids.v6i1.3360SIKAP ASEAN TERHADAP PELANGGARAN HAM DI MYANMAR PASCA KUDETA Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial sikap asean doi 10 38043 jids v6i1 3360
  1. #prinsip non#prinsip non
File size435.46 KB
Pages14
DMCAReportReport

ads-block-test