UNHASUNHAS

Hasanuddin Law ReviewHasanuddin Law Review

Prinsip ex aequo et bono memiliki posisi unik dalam tata hukum Indonesia: meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam undang-undang, prinsip ini semakin digunakan oleh hakim untuk mengejar keadilan substantif dalam sengketa pemutusan hubungan kerja. Praktik peradilan ini menimbulkan kekhawatiran terkait ketidakpastian hukum dan batasan wewenang peradilan khususnya ketika putusan melebihi gugatan para pihak dan berpotensi melanggar prinsip ultra petita. Artikel ini menganalisis penerapan ex aequo et bono di pengadilan ketenagakerjaan Indonesia melalui pendekatan normatif hukum dengan pendekatan perbandingan dan konseptual. Fokus utama penelitian adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 223 K/Pdt.Sus-PHI/2017, di mana pengadilan mengakhiri hubungan kerja meskipun tidak ada pihak yang secara eksplisit meminta upaya hukum tersebut. Dengan membandingkan pendekatan peradilan Indonesia dengan sistem Belanda, di mana ex aequo et bono hanya diperbolehkan dalam arbitrase dengan persetujuan pihak. Artikel ini menyoroti mekanisme keamanan hukum Belanda yang mempertahankan keadilan dan ketidakpastian hukum. Hasil menunjukkan bahwa penggunaan ex aequo et bono di Indonesia yang tidak terkendali menciptakan ketidakkonsistenan dan risiko pelanggaran yurisdiksi peradilan, menegaskan kebutuhan mendesak untuk panduan perundang-undangan. Penelitian ini berpendapat bahwa penggabungan konsent persetujuan pihak dan batasan prosedural yang lebih jelas ke dalam kerangka penyelesaian sengketa ketenagakerjaan Indonesia akan lebih baik mengharmonisasi argumen berbasis keadilan dengan prinsip ketidakpastian hukum dan pertanggungjawaban peradilan.

Prinsip ex aequo et bono memberikan hakim kebijakan untuk memutuskan kasus berdasarkan keadilan dan kesetaraan daripada ketaatan ketat terhadap norma hukum.Di Indonesia, prinsip ini digunakan dalam sengketa pemutusan hubungan kerja untuk bridging kekurangan kewajiban hukum.Namun, penerapannya menimbulkan kekhawatiran terkait melampaui wewenang peradilan (ultra petita) dan mengurangi prediksi hukum.Hal ini menegaskan kebutuhan mendesak untuk regulasi peraturan perundang-undangan untuk standarisasi penggunaannya dan pastikan hasil yang konsisten.Sebaliknya, sistem Belanda menyediakan pendekatan berstruktur di mana prinsip ex aequo et bono dibatasi pada arbitrase, bersifat pada konsent kedua belah pihak.Sistem ini menjaga keadilan dan ketidakpastian hukum, menawarkan contoh bagi Indonesia untuk meniru.Mengadopsi prinsip ex aequo et bono dalam mekanisme penyelesaian perbedaan konfirmasi, seperti arbitrase atau mediasi, bisa menawarkan pendekatan yang lebih efisien dan adil.

Penelitian di masa depan dapat mengexplore potensi regulasi hukum untuk menjelaskan batasan penggunaan prinsip ex aequo et bono di Indonesia, seperti memastikan bahwa hakim hanya dapat menerapkannya setelah adanya konsent pihak dalam mediasi atau arbitrase. Studei lanjutan juga bisa menginvestigasi dampak penerapan prinsip ini di luar konteks pemutusan hubungan kerja, misalnya dalam perselisihan kontrak atau ganti rugi sosial, untuk mengevaluasi apakah prinsip ini bisa memperkuat keadilan substansial tanpa mengorbankan ketidakpastian hukum. Sebagai alternatif, peneliti dapat membandingkan prinsip ex aequo et bono dengan mekanisme hukum khusus dalam sistem hukum negara yang tidak mengenal prinsip ini, seperti di Tiongkok atau Amerika Serikat, untuk menemukan model peradilan yang lebih adaptif terhadap nilai masyarakat yang berkembang.

  1. Regulatory Frameworks to Integrate Corporate Social Responsibility with Circular Economy Principles |... doi.org/10.20956/halrev.v11i2.6135Regulatory Frameworks to Integrate Corporate Social Responsibility with Circular Economy Principles doi 10 20956 halrev v11i2 6135
File size395.26 KB
Pages16
DMCAReportReport

ads-block-test