IAINPTKIAINPTK

Journal of Islamic LawJournal of Islamic Law

Menurut jumhur ulama, pernikahan karena hamil (ngampang) sebenarnya boleh selama dilakukan menurut aturan fikih. Keabsahannya tidak ditentukan oleh situasi/lokus di hadapan penghulu negara. Sehingga tidak ada signifikansi untuk menikah kembali di hadapan pegawai negara tersebut jika sebelumnya sudah dilakukan pernikahan secara Islam di luar dinding Kantor Urusan Agama. Akan tetapi dalam kenyataannya, di sebagian masyarakat—dalam konteks ini Komunitas Muslim Sintang—kerap melakukan pernikahan kembali di hadapan pegawai pencatat nikah guna meraih pengakuan negara. Berangkat dari hal ini, artikel ini memotret legalisasi status pernikahan hamil. Data dikumpulkan melalui wawancara. Artikel berargumen bahwa untuk menjadikan kawin hamil memiliki status setara dengan pernikahan pada umumnya, komunitas muslim Sintang kerap melakukan pernikahan dua kali, yakni pernikahan menurut standar adat (dengan membayar denda-denda menurut Undang-Undang Kerajaan Sintang) dan pernikahan menurut standar prosedur nasional (di hadapan penghulu negara). Hal ini mengindikasikan bahwa, dalam hal menyelesaikan persoalan kehamilan di luar nikah, komunitas Muslim Sintang harus melewati dua standar yang sebenarnya tidak bertentangan secara subtantif. Kedua standar sebenarnya didasarkan pada prinsip-prinsip sama yang terdapat dalam hukum Islam.

Penyelesaian kasus kehamilan di luar nikah dalam masyarakat Muslim Sintang mencerminkan kompleksitas sistem hukum dalam masyarakat Muslim Indonesia.Hukum Islam, hukum adat, dan hukum negara diterapkan secara simultan tanpa bertentangan secara substantif.satu menurut adat dan satu lagi menurut prosedur negara, sebagai bentuk keabsahan ganda yang saling melengkapi.

Pertama, perlu diteliti lebih dalam bagaimana pemahaman remaja Muslim Dayak di Sintang terbentuk terkait hubungan intim dan pernikahan ngampang, termasuk pengaruh media sosial dan pendidikan agama, untuk memahami akar penyebab praktik ini. Kedua, sebaiknya dilakukan penelitian komparatif antar daerah, misalnya antara Sintang dengan daerah lain yang juga memiliki tradisi ngampang, untuk mengidentifikasi pola umum dan variasi lokal dalam penerapan keabsahan ganda. Ketiga, perlu dikaji efek jangka panjang dari praktik pernikahan ganda terhadap kesejahteraan perempuan dan anak, termasuk aspek psikologis dan hukum, agar dapat dinilai apakah sistem dualitas ini benar-benar melindungi atau justru menciptakan kerentanan baru dalam keluarga yang terbentuk dari kawin hamil.

  1. Between Culture and the Sacredness of Fiqh: The Role of Lebe in Child Marriage Practices in Brebes, Indonesia... doi.org/10.24260/jil.v3i2.858Between Culture and the Sacredness of Fiqh The Role of Lebe in Child Marriage Practices in Brebes Indonesia doi 10 24260 jil v3i2 858
  2. Solving Pregnancy Out-of-Wedlock: ‘Dual Validity’ of Ngampang Marriage among Dayak Muslim... doi.org/10.24260/jil.v4i2.1283Solving Pregnancy Out of Wedlock AoDual ValidityAo of Ngampang Marriage among Dayak Muslim doi 10 24260 jil v4i2 1283
  1. #pendidikan agama islam#pendidikan agama islam
File size361.78 KB
Pages25
DMCAReportReport

ads-block-test