KKPKKP

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi berbagai jenis dan kombinasi makanan hidup terkait dengan kelangsungan hidup larva baru lahir Lysmata vittata dan Lysmata intermedia. Eksperimen terdiri dari tiga percobaan (berbeda spesies, kombinasi, dan densitas makanan hidup) yang diatur dalam desain acak lengkap. Percobaan pertama dan kedua bersifat L. vittata dengan tiga perlakuan masing-masing (1A, 1B, 1C untuk percobaan‑1; 1D, 1E, 1F untuk percobaan‑2). Percobaan ketiga melibatkan dua perlakuan (2A dan 2B) pada L. intermedia. Setiap perlakuan memiliki tiga replikasi. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup rendah di semua perlakuan. Namun, setiap perlakuan menunjukkan pengaruh secara signifikan (P < 0,05) pada rata‑rata tingkat kelangsungan hidup L. vittata dan L. intermedia. Pada percobaan pertama, perlakuan 1C merupakan satu‑satunya yang memiliki larva yang bertahan setelah hari ke‑35 dengan rata‑rata tingkat kelangsungan akhir (FASR) sebesar 4,44%. Empat larva mencapai tahap post‑larva. Pada percobaan kedua, perlakuan 1F menunjukkan kondisi lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya dengan FASR 5,56%. Meskipun demikian, tidak ada larva pada percobaan kedua yang bertransformasi menjadi post‑larva sebelum akhir percobaan pada hari ke‑46. Pada percobaan ketiga, tidak ada larva yang bertahan untuk mencapai tahap post‑larva. Meskipun demikian, perlakuan 2B memiliki tingkat kelangsungan rata‑rata harian (DASR) lebih baik daripada perlakuan 2A. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan copepod sebagai makanan hidup pada tahap larva awal dan Artemia pada tahap selanjutnya lebih efektif dalam meningkatkan tingkat kelangsungan hidup larva shrimp peppermint.

Rata‑rata tingkat kelangsungan hidup larva Lysmata vittata dan L.intermedia rendah di semua kombinasi makanan hidup, namun setiap perlakuan menunjukkan pengaruh signifikan (P < 0,05).Penggunaan copepod pada tahap larva awal dan Artemia pada tahap selanjutnya terbukti lebih efektif meningkatkan kelangsungan hidup larva shrimp peppermint dibandingkan perlakuan lain.Karena kedua spesies sensitif terhadap suhu rendah, suhu tetap 28–29 °C dianjurkan agar proses transformasi menjadi post‑larva berlangsung normal.

Paksa materi, baik pada perkiraan dosis juga aspek kualitas air, karena sensitivitas larva terhadap suhu rendah membuat fase transisi menjadi post‑larva sangat lama; kebajikan penyelidikan dengan menurunkan densitas koloni awal dapat menilai apakah peningkatan tingkat kelangsungan hidup dapat dicapai tanpa memperbesar populasi; perantara beban dengan penggabungan alga mikro dan rotifer varietas lain pada fase awal dapat membuktikan apakah ada preferensi nutrisi spesifik yang meningkatkan morbiditas; serta memonitor fluktuasi suhu secara real–time dalam setting terkontrol guna menentukan kurva tempa “kualitas metamorfosis akan melancarkan rehabilitasi kualitas larva.

File size157.62 KB
Pages8
DMCAReportReport

ads-block-test