UINSIUINSI

0

Artikel ini berusaha membahas secara eksploratif tentang normatifitas usia hewan yang dikurbankan dalam proses aqiqah. Kajian normatif ini dilakukan berdasarkan fenomena tentang sakralitas proses aqiqah yang ingin dilakukan oleh setiap orang tua terhadap anaknya. Beberapa pertanyaan muncul terkait fenomena tersebut; apakah jenis dan usia hewan yang dikurbankan untuk aqiqah sama dengan persyaratan hewan kurban yang dikurbankan pada idul adha? Bagaimana para ulama mazhab memberi gambaran tentang landasan usia hewan aqiqah ini? Penelitian ini menemukan bahwa hampir tidak terdapat perbedaan mendasar dari para ulama klasik mengenai usia hewan aqiqah. Hasil kajian ini menegaskan bahwa hewan sudah boleh disembelih sebagai aqiqah apabila sudah mencapai usia al-tsaniy/tsaniyah/musinnah kecuali untuk hewan biri-biri cukup dengan usia al-jadza‟/jadza‟ah. Namun demikian, terdapat beberapa ulama, sekalipun minoritas, yang mengatakan bahwa hewan aqiqah yang disembelih dibawah umur tersebut tetap sah dan terhitung sebagai pahala.

Para imam mazhab sepakat bahwa hukum aqiqah tidak wajib.tiga mazhab (Maliki, Syafii, Hanbali) menyatakan hukumnya sunnah muakkadah, sedangkan Hanafi menyatakan mubah.Hewan yang dapat dijadikan aqiqah adalah unta, sapi, kerbau, kambing, dan biri-biri dengan usia minimal al-tsaniy, kecuali biri-biri yang cukup al-jadza‟.Terdapat pendapat minoritas yang membolehkan aqiqah dengan hewan di bawah usia tersebut tetap sah dan bernilai pahala, sehingga perlu sosialisasi bahwa aqiqah tidak terbatas pada kambing atau biri-biri berusia penuh.

Penelitian lanjutan dapat mengkaji bagaimana masyarakat Muslim di berbagai daerah di Indonesia menyesuaikan praktik aqiqah dengan kondisi ekonomi dan kesehatan lokal, khususnya dalam konteks penggantian hewan aqiqah berusia muda dengan kombinasi daging putih, apakah hal ini masih dianggap sah secara fiqih dan diterima secara sosial. Selain itu, perlu diteliti dampak sosial dan spiritual dari kebijakan aqiqah berbasis alternatif hewan, seperti apakah praktik ini meningkatkan partisipasi masyarakat miskin dalam pelaksanaan aqiqah tanpa mengurangi makna religiusnya. Terakhir, sebuah studi historis dapat dilakukan untuk melacak bagaimana pergeseran dari penggunaan hewan kurban besar seperti sapi ke kambing sebagai simbol aqiqah terjadi di Indonesia, dan apakah perubahan ini lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi, budaya lokal, atau interpretasi hukum yang berkembang dalam masyarakat.

File size1.17 MB
Pages28
DMCAReportReport

ads-block-test