UPIUPI

Indonesian Journal of Science and TechnologyIndonesian Journal of Science and Technology

Gaza Strip mengalami kekurangan air yang serius akibat pertumbuhan penduduk, perubahan gaya hidup, kondisi politik, dan kekeringan yang dipicu oleh perubahan iklim. Akibat tingginya permintaan air untuk penggunaan domestik, terjadi penumpukan besar limbah cair di Instalasi Pengolahan Air Rafah, sehingga pemanfaatan kembali air limbah yang telah diolah menjadi pendekatan yang baru diterima untuk melestarikan air tanah atau untuk penggunaan domestik. Penelitian ini bertujuan mempelajari kualitas effluent yang diolah di Instalasi Pengolahan Air Rafah serta pengaruh tingkat pendidikan petani terhadap penerimaan penggunaan kembali air limbah terolah untuk irigasi; kuesioner didistribusikan kepada petani untuk menyelidiki tingkat penerimaan, sementara parameter effluent yang diuji meliputi BOD, COD, TKN, NH4, NO3, dan P dengan nilai masing‑masing 110, 250, 108, 127, 0,23, dan 17,9 mg/L, serta konsentrasi Cd, Pb, dan Cu yang harus <0,003, <0,001, dan 19,9 µg/L. Sebagian besar parameter reuse melebihi nilai rekomendasi standar Palestina untuk irigasi, namun sekitar 80 % petani menerima penggunaan air limbah terolah karena terdapat hubungan kuat antara tingkat pendidikan petani dan penerimaan penggunaan air limbah terolah selama dianggap aman dan sehat.

Meskipun penggunaan kembali air limbah terolah (RWW) menjadi prioritas utama untuk memenuhi peningkatan kebutuhan air sektor pertanian di Gaza Strip, kualitas effluent saat ini tidak layak untuk irigasi karena konsentrasi BOD, COD, TKN, Na, Mg, Cl, SAR, TSS, FC, dan TDS melebihi batas standar Palestina.Secara sosial, budaya, dan lingkungan, penggunaan air limbah terolah dapat diterima, namun secara teknis diperlukan perbaikan fasilitas—misalnya penambahan filter pasir—agar memenuhi standar kualitas.Sebanyak 80,70 % petani menyatakan kesediaan menggunakan air limbah terolah, dan analisis menunjukkan bahwa tingkat pendidikan serta partisipasi dalam program penyuluhan lingkungan secara signifikan meningkatkan penerimaan tersebut.

Penelitian selanjutnya dapat mengevaluasi efektivitas kombinasi filter pasir berbiaya rendah dengan sistem rawa konstruksi (constructed wetland) dalam menurunkan nilai BOD, COD, dan TKN pada effluent sehingga memenuhi standar Palestina untuk irigasi; studi ini harus mencakup analisis biaya‑manfaat serta dampak lingkungan jangka panjang. Selanjutnya, diperlukan penyelidikan longitudinal mengenai pengaruh penggunaan air limbah terolah dengan tingkat salinitas berbeda terhadap kesuburan tanah, akumulasi ion natrium, serta produktivitas tanaman pada berbagai jenis tanaman pangan di Gaza Strip, guna menentukan batas aman salinitas bagi masing‑masing kultur. Ketiga, perlu dirancang intervensi pendidikan berbasis komunitas yang menargetkan petani dengan tingkat pendidikan rendah, kemudian diukur perubahan persepsi dan praktik penggunaan air limbah terolah melalui survei pra‑ dan pasca‑intervensi, sehingga dapat mengidentifikasi faktor‑faktor kunci yang memperkuat adopsi teknologi irigasi berkelanjutan. Penelitian-penelitian tersebut akan melengkapi temuan saat ini dengan solusi teknis, agronomik, dan sosial yang terintegrasi, mempercepat implementasi penggunaan kembali air limbah secara aman dan efektif di wilayah yang mengalami krisis air.

  1. The Effect of Education Level on Accepting The Reuse of Treated Effluent in Irrigation | Al-Najar | Indonesian... doi.org/10.17509/ijost.v4i1.14881The Effect of Education Level on Accepting The Reuse of Treated Effluent in Irrigation Al Najar Indonesian doi 10 17509 ijost v4i1 14881
File size1.34 MB
Pages11
DMCAReportReport

ads-block-test