ALJAMIAHALJAMIAH

Al-Jami'ah: Journal of Islamic StudiesAl-Jami'ah: Journal of Islamic Studies

Socrates (469-399 SM) dan Suhrawardi (w. 1191 M) hidup di dua dunia yang sangat berbeda, baik secara waktu, tempat, budaya maupun kepercayaan yang ada di sekitar mereka. Perbedaan tersebut juga berdampak pada perbedaan kehidupan dan pemikiran mereka. Meskipun demikian, secara aneh, mereka memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut terletak pada upaya mereka untuk menyingkap hakikat sesuatu. Selain itu, kehidupan mereka juga berakhir secara tragis. Socrates, yang tidak pernah menulis apa pun, dikenal dengan metode dialektikanya. Dialektika Socrates, sebagai usaha investigasi kritis, merupakan sarana untuk menjangkau hakikat sesuatu di luar kepercayaan umum saat itu. Melalui dialektika, Socrates berusaha melawan hegemoni kaum politikus dan masyarakat Athena saat itu yang acuh terhadap kebenaran. Dengan memperkenalkan penalaran induktif, Socrates mencoba mengungkap hakikat universal tentang Tuhan, tentang keadilan, dan sebagainya. Suhrawardi, di pihak lain, memiliki tujuan yang sama dengan Socrates, tetapi dengan metode yang berbeda. Misteri tentang perbedaan dalam kesamaan inilah yang akan diungkap dalam artikel ini.

Socrates dan Suhrawardi hidup dalam dua dunia yang sangat berbeda, namun keduanya berakhir secara tragis akibat ketidaksesuaian pandangan mereka dengan kepercayaan dominan di masyarakat masing-masing.Meskipun metode Socrates bersifat rasional dan dialogis, sedangkan Suhrawardi mengandalkan intuisi mistis dan iluminasi, keduanya bertujuan mencapai pemahaman universal tentang hakikat kebenaran.Artikel ini menunjukkan bahwa keduanya merupakan simbol dari resistensi terhadap dogma dan representasi dari pencarian kebenaran transendental yang tidak tunduk pada ortodoksi resmi.

Pertama, perlu diteliti bagaimana representasi Socrates dalam tradisi Islam, khususnya melalui karya-karya falsafi dan mistis Persia, memengaruhi pembentukan konsep kebijaksanaan universal di luar konteks Yunani. Kedua, penting untuk mengkaji lebih dalam peran simbolisme cahaya dalam tradisi Illuminasi Islam dan bagaimana konsep tersebut digunakan untuk menyatukan berbagai tradisi spiritual, termasuk elemen-elemen pra-Islam Persia. Ketiga, sebaiknya dilakukan studi komparatif antara metode dialektika kritis Socrates dengan praktik refleksi intelektual mistis dalam tashawwuf, untuk mengeksplorasi apakah keduanya dapat dipahami sebagai bentuk pendidikan spiritual yang menantang norma-norma sosial dan agama yang mapan. Penelitian-penelitian ini akan membantu memahami bagaimana tokoh-tokoh filosofis lintas budaya menjadi simbol alternatif dalam percakapan intelektual lintas peradaban. Selain itu, memetakan jalur transmisi gagasan dari Yunani klasik ke dunia Islam melalui figur seperti Suhrawardi dapat mengungkap hubungan antara rasionalitas filsafat dan pengalaman mistis. Dengan memahami bagaimana kebenaran dipahami secara intuitif versus argumentatif, kita bisa lebih menghargai keragaman pendekatan dalam pencarian ilmu. Akhirnya, studi tentang eksekusi tokoh-tokoh intelektual secara politis dapat memberi wawasan tentang konflik antara otoritas agama, kekuasaan politik, dan kebebasan berpikir. Oleh karena itu, meneliti konteks sosial-politik yang melingkupi kematian Socrates dan Suhrawardi secara paralel dapat membuka jalan untuk memahami dinamika represi terhadap pemikiran kritis. Hal ini penting untuk dijawab agar kita bisa melihat ulang batas toleransi masyarakat terhadap perbedaan pandangan. Dengan begitu, kita bisa mengembangkan kerangka yang lebih inklusif bagi dialog intelektual lintas zaman dan budaya.

File size21.17 MB
Pages33
DMCAReportReport

ads-block-test